Demi(Kian) Aku Rela
CERPEN
Oleh : Rhialita
Sore itu, di halaman gedung minimalis
berlantai tiga, aku memarkirkan mobil. Gedung ini memiliki tempat parkir
lumayan luas, dan taman kecil di samping gedung. Aku keluar dari swift ungu,
kemudian menuju ke bagasi mobil untuk mengambil gitar. Aku sengaja datang satu
jam lebih awal, tetapi aku tidak melihat satpam di pos penjaga, padahal pagar
sudah terbuka, ah mungkin sedang ke toliet pikirku. Aku berjalan menuju pintu
utama, tetapi langkahku terhenti, aku melihat seseorang yang sebelumnya tak
pernah kulihat. Lelaki itu bertubuh tegap, mengenakan sweater abu-abu, dan
membawa gitar dipunggungnya turun dari motor sport berwarna merah. Aku
melihatnya dari jarak yang agak jauh. Aku melanjutkan langkahku menuju lobby.
Begitupun dia. Aku mendekatinya. Memandang matanya yang berbinar, seperti
mengisyaratkan sesuatu dibaliknya. Dia terlihat kebingungan. Aku hendak
bertanya apa dia perlu bantuanku. Atau aku hiraukan saja dan terus masuk ke
dalam? Akhirnya kuputuskan untuk bertanya.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku
padanya. Aku terdiam sesaat. Dia tampan, gumamku dalam hati. Pemuda itu
menatapku dan bertanya.
“Bagian administrasi ruangannya di sebelah
mana ya? Tadi saya ke pos satpam mau tanya tapi ngga ada orang.” Ia terlihat
canggung. Tanpa basa-basi aku menunjukkan arah bagian administrasi yang
dia tanyakan.
“Oh ya, satpamnya mungkin sedang ke toilet.
Kalau ruangannya di sana, tapi jam segini belum ada orangnya, mungkin setengah
jam lagi. Tunggu saja dulu.”
“Terimakasih ya.” katanya dengan senyum
mengembang, aku mengangguk dan membalas senyum seadanya. Kemudian pergi
meninggalkannya.
***
Suasana kelas hari ini terlihat sama, tetapi
memang ada beberapa murid yang tidak masuk kursus hari ini. Aku duduk di kursi
biasanya, di dekat jendela. Tempat duduk di sini di susun sedemikian rupa agar
semua murid dapat saling melihat satu sama lain. Ada sepuluh kursi di dalam
kelas yang diletakkan satu baris berjumlah lima buah kursi berhadapan. Setahuku
murid yang rutin dan memang terdaftar di kelas ini hanya ada delapan orang,
jadi dua kursi lainnya kosong.
Mentor gitarku membuka kelas hari ini, tak
lama ada seseorang yang mengetuk dari balik pintu, dan membukanya. Dia adalah
pemuda itu, yang kemarin menanyakan ruang administrasi. Masih kuingat wajahnya
teduhnya. Dia mengucapkan salam. Kemudian mentor gitarku, Kak bayu menyuruhnya
masuk. Sekarang pemuda itu berdiri di depan kelas berdampingan dengan Kak Bayu.
Dia memperkenalkan diri, dan dia berhasil mencuri perhatianku. Laki-laki itu
mengucap satu nama.
"Perkenalkan saya Kian, salam kenal
semua." Menurutku suaranya merdu, apa akan semerdu ini juga jika
bernyanyi? Pikiran liar memenuhi kepalaku.
"Nah, teman-teman, mulai hari ini Kian
akan bergabung bersama kita, untuk kursus gitar." Ucap Kak Bayu, sambil
melihat ke arahku dan yang lainnya. Aku masih menatapnya, hingga dia duduk di
seberang kursiku. Kursus hari ini pun berjalan seperti biasa.
***
“Hai.. maaf aku boleh duduk di sini? Tanya
anak baru itu dengan sangat sopan, sambil menunjuk kursi di sampingku.
“Silahkan.. tidak ada yang melarang.” Aku
mengangguk, menepuk kursi disebelahku, sambil kubalas senyum paling manis di
ujung ucapanku.
Kian pun duduk, memegang gitar hitamnya,
sekilas aku melihat stiker huruf K dibadan gitar miliknya, mungkin itu inisial
namanya. Aku masih sibuk dengan gitarku sendiri sambil melihat buku panduan
bermain gitar, tetapi kini rasanya sudah tidak fokus lagi, entah mengapa lelaki
yang satu ini bisa membuatku salah tingkah. Sebenarnya aku ini kenapa? Suara
itu mulai menggangguku lagi.
“Hei siapa namamu? Kita belum berkenalan.
kamu pemula ya?” dia menatapku, begitu juga aku sebaliknya. Aku menganggukkan
kepala. Aku merasakan gugup, canggung, namun berusaha tetap terlihat tenang. Kian
menyodorkan tangan yang kusambut dengan hangat.
“Aku Nada.. iya, aku pemula, untuk isi waktu
luang di luar jam kuliah. Kalau Kamu?” aku balik bertanya. Dia balas dengan
senyum yang mengembang membuat lesung dipipinya terlihat, menyejukkan. Aku mulai
terpesona.
“Aku sudah belajar dari kelas 4 SD..”
Jawabnya sambil setengah tertawa yang terdengar dipaksakan, ada rasa canggung
yang terpancar darinya. Namun tetap menarik bagiku.
“Wah.. jadi?? terus kenapa kamu ingin kursus
di sini lagi?" ujarku heran.
"Ingin lebih mahir aja.." ujar Kian
singkat.
***
Langit Bandung tampak cerah, burung-burung
masih mengepakkan sayapnya, dan aku masih dapat bernapas bebas. Masih sama.
Hanya perasaanku yang berubah. Lebih tepatnya karena dia. Dua bulan berlalu,
aku dan laki-laki berwajah teduh itu semakin akrab. Setiap hari aku selalu menghabiskan
waktu bersamanya sepulang kursus. Dia banyak bercerita mengenai kehidupannya.
Kian seorang laki-laki yang sangat mandiri. Sejak balita dia tinggal bersama
neneknya. Ayah dan Ibunya bercerai, keduanya pun sudah memiliki keluarga baru
masing-masing, Kian tetap memilih tinggal dengan neneknya.
Walaupun neneknya orang yang berkecukupan,
Kian tidak pernah meminta macam-macam. Hanya Neneknya keluarga satu-satunya
yang dia miliki. Tetapi semenjak Kian kuliah, Neneknya sakit-sakitan dan belum
lama Neneknya menyusul suaminya yang juga telah tiada. Untuk menghidupi dirinya
sekarang Kian kerja paruh waktu sambil kuliah. Kadang dia menyalurkan hobinya
dari panggung ke panggung dan menghasilkan honor yang lumayan. Tujuannya saat
ini hanyalah bisa mandiri dan sukses dengan jerih payahnya sendiri.
***
“Begitu ceritanya..” Aku hanya bisa
memandangnya selama Kian bercerita tentang kehidupannya. Menopangkan daguku di
sisi gitar yang kupegang. Tidak kusangka Kian orang yang sangat ramah.
Kawanan air dari langit mulai datang, membuat
kaca jendela mulai berembun, dan menyambut kami yang sedang asik bercengkrama.
Namun orang yang ada di hadapanku ini lebih memesona dari pada kawanan itu.
Mereka hanya bisa melihat kami dari luar jendela. Mungkin saja kawanan itu sedikit
menguping percakapan kami. Suasana yang bisa dibilang romantis. Kian berhenti
bicara, aku masih memandangnya. Tangannya menghampiri pundakku, dan menepuk
pelan-pelan, menyadarkanku akan kekaguman yang sejenak membuatku lupa dengan
apa yang aku dengar. Dia juga membuatku sadar, bahwa setiap manusia boleh dan
berhak jatuh cinta. Untuk waktu yang cukup lama. Saat ini, aku mulai
merasakannya lagi.
“Makasih
ya, sudah antar ke rumah.” Ujarku sambil melepaskan helm yang aku pakai.
“Iya, sama-sama nada. Maaf ya, kamu jadi
basah kuyup, aku hanya punya motor” Dia tertawa kecil diujung ucapannya.
“Tidak apa-apa, ini lebih dari cukup, aku
yang merepotkanmu. kamu hati-hati ya” Ucapku lagi.
"Sampai jumpa besok ya." Ujar Kian
yang mulai siap bergegas pulang. Aku melihat kepergiannya sampai titik terkecil
di ujung jalan, kemudian menghilang.
***
Betapa kehadiran cinta untuk seseorang tidak dapat
dicegah. Kemurnian rasa tulus mencintai akan mengalahkan segala bentuk perusak
yang datang. Namun apakah setiap cinta dapat diungkapkan? Tentu saja iya,
bahkan mungkin tidak sama sekali. Butuh nyali yang besar untuk dapat
mengutarakannya. Bahagialah yang akan terpancar dari raut wajah seseorang yang
sedang dibumbui rasa cinta, jika rasa itu diterima dan mendapat pengakuan yang
sesuai dengan apa yang diharapkan. Tetapi sebaliknya, kesedihan bahkan tangis,
dan rasa sakit hati yang mendalam jika semua itu tidak sebanding dengan apa
yang dilakukan untuk sebuah pengorbanan cinta. “Posting”
Pikiranku mulai kacau, perasaan hatiku
berkecamuk antara ya atau tidak. Aku hanya ingin mengungkapkan bahwa aku
menyukainya, mendengarkan ceritanya, kehidupannya, menampung keluhannya, dan bermain
gitar bersamanya sepanjang waktu. Tetapi aku takut rasa ini tidak terbalas. Aku
mencurahkan apa yang aku rasakan ke dalam sebuah tulisan, dan mempostingnya di
blog. Terlintas wajahnya yang tersenyum di benakku. Bahkan sesekali berani
menampilkan wajah sendunya di layar laptop di hadapanku. Entah keinginan
darimana tanpa sadar aku membuka akun twitter-ku,
melihat apa ada yang menarik di sana. Jemariku mengarahkan mouse ke kolom pencarian, aku mengetik
pada keyboard nama itu. Satu nama
yang selalu membayangiku beberapa bulan kebelakang. Ternyata baru beberapa
menit yang lalu Kian memosting di twitter.
@Kianajisaka
Aku merasa nyaman di dekatnya, dan sepertinya aku
akan mengatakannya.
Jantungku berdebar tak biasa. Mataku
membelalak lebar, bibirku gemetar. Rasanya bercampur aduk jadi satu. Apakah ini
pertanda supaya aku mengatakannya? Bahwa aku menyukainya? Oh Tuhan.. apa yang
harus aku lakukan? Aku menepuk-nepuk pipiku. Pikiranku mulai terlalu
jauh. Belum tentu apa yang dia ungkapkan di media sosial itu untukku? Bisa saja
perempuan lain? Aku sudah melayang di angkasa dan terkejut setengah mati. Ah,
lupakan! Gumamku. Mataku mulai perih, aku mematikan laptop diatas meja
belajarku. Mencoba lebih santai dengan situasi ini. Aku beranjak dari kursi dan
meluncur ke atas tempat tidur. Menarik selimut, membungkus tubuhku sampai batas
leher, memposisikan diriku senyaman mungkin. Sambil merebahkan tubuh
karena kelelahan, aku mengambil ponselku yang berdering. Siapa yang malam-malam
begini telpon? Pikirku heran. Tetapi keherananku bertambah, setelah aku tahu
siapa yang menelepon malam itu.
Kian Memanggil...
“Hallo.. Nada?”
“Iya? Kian? Kok tumben malam-malam gini
telfon? Ada apa? Tidak biasanya?”
“Aku cuma mau tanya, apa benar kalau kita
menyukai seseorang itu harus segera diungkapkan? Kalau kita takut ditolak
gimana? aku habis baca blogmu tadi.”
Terdengar tawa kecil dan sedikit perasaan
khawatir di ujung telpon. Aku semakin bertanya-tanya, hatiku bergejolak lagi.
Setiap kata yang dia lontarkan seperti memberikan sinyal padaku. Bibirku
terasa kelu, aku terdiam sejenak dan
menelaah apa yang ditanyakan olehnya. Aku menghela napas pelan, dan berusaha
menjawab.
“Asal niat kita tulus dan tidak ingin imbalan
apapun.. ungkapkan apa yang ingin kamu ungkapkan. Tapi ingat, cinta harus tanpa
pamrih sekalipun kamu tidak diterima..”
***
Suara ibu yang samar-samar terdengar di
telinga, membangunkan tidurku. Kali ini berbeda, ada semangat yang menempel,
memaksaku untuk segera bangkit dari tempat tidur dan segera bergegas mandi,
berdandan secantik mungkin, dan menyiapkan senyum semanis-manisnya. Semua itu
aku lakukan untuk seseorang, yaitu Kian. Setelah percakapan semalam, aku pikir,
Kian membuatku yakin bahwa aku harus mengatakannya. Aku menuruni anak tangga,
menuju meja makan, terlihat Ayah dan Ibu sudah duduk di sana, aku menghampiri
mereka dan bergabung untuk sarapan.
“Ada kegiatan apa sayang?” kok pagi sekali
sudah siap? Tumben?” tanya Ibu sambil mengoleskan selai kacang kesukaan ayah di
selembar roti tawar, dan sedikit melirik – lirik padaku.
“Ada janji dengan teman bu, di tempat kursus,
kebetulan ini kan hari sabtu. Kuliah libur.”
“Sepertinya kamu jadi rajin ke tempat kursus
akhir-akhir ini?” Timpal Ayah yang sedang membaca koran, namun mulai mengikuti
percakapan aku dan Ibu. Aku sedikit terkejut, apa mungkin Ayah tahu tentang
Kian? Tidak mungkin, Ayah kan sibuk dengan usaha propertinya, gumamku dalam
hati. Aku hanya diam, dan sibuk mengunyah roti selai coklat yang kubuat. Belum
selesai menghabiskan roti, ponselku bergetar, pesan singkat dari Kian. Dia
sudah sampai di tempat kursus. Aku beranjak dari meja makan, mencium tangan
Ayah dan Ibu, dan pamit untuk langsung pergi.
“Hati-hati nak..” Teriak Ayah, ketika aku
berlari terburu-buru menuju swiftku yang terparkir di halaman rumah. Aku
melambaikan tangan tanpa menoleh ke belakang.
***
Langkahku terhenti di depan pintu kelas. Aku
melihat Kian menggenggam setangkai mawar merah. Aku masih berdiri di sana, mengintip
dari balik pintu, melihat apa yang sedang dilakukannya. Aku melihat punggung
Kian, lalu ia mengangkat tangannya, kini mawar itu terlihat lebih jelas. Dia
mengucapkan sesuatu. Kian melontarkan sesuatu yang ingin sekali aku ungkapkan
padanya. Tanganku mengepal, kuletakkan di dadaku yang sedikit sesak, jantungku
memompa lebih cepat. Apa ini akhir perjalanan rasa yang menggantung di hatiku?
Aku melangkahkan kaki dan masuk ke ruangan kelas. Sepertinya suara hentakan
sepatu flatku di lantai kayu terdengar, dan mengalihkan pandangan Kian,
sehingga dia tahu bahwa aku sudah datang.
“Hai Kian..” Sapaku pagi itu. Baru kali pertama
aku melihat Kian berbeda dari biasanya. Dia terlihat lebih rapi, dan ceria.
Tetapi teduh di wajahnya tampak selalu menghiasi, dan selalu membuatku betah
berlama-lama dengannya. Belum sempat aku mendekatinya, dengan gesit dia menarik
tanganku, dan memposisikan diriku di hadapannya. Kali ini aku benar-benar
kehabisan kata-kata. Aku menatap matanya dalam-dalam. Dan siap mendengar apa
yang akan dia katakan.
“Aku ingin mengatakan sesuatu..” Ujar Kian,
dengan nada yang terdengar menggebu-gebu, seperti sudah tak sabar dengan apa
yang sudah ia simpan sejak lama. Jarak ini adalah yang paling dekat setelah
hampir satu tahun mengenal Kian. Jantungku berdebar semakin kencang, seperti
diluar batas normal, aliran darahku terasa cepat, membuat tubuhku berkeringat,
mulutku membisu, dan hanya fokus padanya. Sambil menyodorkan sekuntum mawar
yang ada ditangannya, bibirnya melontarkan kalimat lagi.
“Aku mencintaimu!”
Tanganku lemas, seperti ingin pingsan saja
saat itu juga, namun aku berusaha menutupi rasa terkejut yang luar biasa.
Kemudian terdengar tawa kecil, yang beralih lebih keras. Aku masih melihatnya
dengan kerutan didahiku, kemudian dia duduk di salah satu kursi di ruang kelas.
Aku menyipitkan mata.
“Kamu kenapa? Kok tertawa? Apa ini lucu?”
Tanyaku ketus, dan sedikit malu.
“Iya, kamu lucu.. wajahmu memerah, seperti
habis sauna.” Sahut Kian seolah-olah berpikir.
“Kian, apa yang kamu bilang tadi itu..?”
“Gimana? actingku bagus tidak? Aku ingin ikut
pemilihan aktor drama tahunan di kampusku. Sepertinya menyenangkan!”
Mendengar penjelasannya, aku serasa baru saja
terbang dengan sayap peri Maleficent, dan tiba-tiba dipanah dengan busur besi hingga
jatuh tak berdaya ke tanah. Ternyata itu hanya pura-pura. Aku menarik nafas
sedalam-dalamnya, dan kuhembuskan pelan-pelan. Kalimat yang keluar jelas dari
bibirnya masih terngiang dan menghantui pikiranku. Andai saja itu semua benar.
Pasti hari ini menjadi hari paling bersejarah seumur hidupku.
***
Kami makan malam di luar. Hanya berdua.
Bagiku tidak ada rasa bosan sedikutpun. Kami memilih sebuah cafe di daerah
Dago. Makanan di piring kami sudah tersisa sedikit. Hanya ada makanan pencuci
mulut yang belum kami santap. Aku masih dengan posisiku, berhadapan
dengannya di satu meja. Apa aku harus basa-basi, dan bertanya sesuatu
tentangnya lebih dulu? Bibirku terasa kaku, aku memilih untuk diam saja. Namun,
tiba-tiba suaranya memecah keheningan. Tangannya menopang dagu, sedangkan aku
bersiap-siap untuk menjawab.
“Oh iya nada, kamu suka menulis di blog kan?
Sepertinya kamu cocok untuk memberiku kalimat-kalimat atau nasihat tentang cinta?”
“Untuk apa?”
“Aku terpilih menjadi peran utama drama
kampus tahun ini!”
“Wah, hebat! Dapat peran apa?”
“Kamu tahu? Aku dapat peran Utama! Seorang
Pemuda bergitar yang merantau ke tanah orang mengejar cinta Sejatinya. Latarnya jaman dulu gitu. Agak kuno sih.” Dia
seperti memperagakan apa yang sedang diceritakan. Lucu, itulah dia. Aku tertawa
kecil.
“Lalu kapan mulai latihan?”
“Besok! Dan mulai besok juga kamu harus
bimbing aku agar mahir bertutur kata dengan baik ya, aku yakin, orang yang suka
menulis pasti bisa menggambarkan sebuah adegan apalagi soal cinta-cintaan!”
“Tapi.. akuuu...”
“Plisss, Nona Nada Adinda Lestari yang
cantik.” Raut wajahnya memelas, tangannya menggenggam tanganku. Aku mencair
kembali.
Aku tidak mungkin menolak, dan tidak pernah
bisa. Mungkin ini kesempatanku juga untuk lebih sering bertemu dengannya. Aku
mengangguk, dan tersenyum simpul padanya. Kami pergi meninggalkan cafe satu jam
setelah selesai makan. Menuju tempat parkir motor di samping bangunan cafe.
Kami berjalan berdampingan, aku melipat wajahku, entah kenapa canggung
menghampiri disaat yang tidak tepat. Aku hanya menunduk, sesekali merapikan
syalku yang tertiup angin dingin malam itu. Sebenarnya ini kencan atau sekedar makan
malam dengan seorang teman? Teman yang membuatku merasa sangat nyaman. Entah
dia menyadarinya atau tidak. Tangannya menyentuh bahuku dengan lembut.
Merangkulku hangat. Kami saling membisu, hanya ada tindakan. Aku bahagia,
jantungku berdegup kencang, dan kali ini mungkin pipiku memerah.
***
Sepulang kursus, seperti biasa kami tetap di
sini. Aku sudah mengatur semuanya. Kami, di ruangan ini hingga malam. Mas Bayu
meninggalkan senyum nakal padaku sebelum meninggalkan kelas. Seperti tahu yang
ada di dalam pikiranku. Aku masih memegang gitarku. Kian memulai mengajariku
lagi, aku lebih cepat mahir bermain gitar berkat dia. Aku selalu suka suasana
ini.
“Aku ingin mendengarmu bernyanyi dong! Anggap
aja ini lagi drama. Ya ya ya” Pintaku pada Kian manja.
“Nyanyi apa? Kamu deh yang menentukan.”
“Hmm.. coba aku ingin dengar lagunya Marcel
dong, judulnya terserah.”
Tanpa waktu yang lama, terdengar haming dan
petikan gitar, kemudian intro lagu, firasat milik Marcel yang diiringi gitar.
Suaranya bagai candu. Selalu ingin lagi dan lagi mendengarnya. Tak begitu unik,
namun nyaman di telinga, lengkap dengan wajah teduhnya. Senyumku mengembang,
diam-diam aku merogoh tas dan mengambil ponselku, merekam suaranya yang
sedang bernyanyi. Tanpa dia tahu. Tiba-tiba suaranya berhenti. Kian meletakkan
gitar di atas meja, lalu menarik tanganku, membuat aku ikut berdiri dengannya.
“Aku ingin kita berdansa.”
“Apa? Dansa? Kamu serius?” Perasaanku naik
turun, sedikit terbata-bata saat ingin menjawab iya. Tanpa menunggu jawabanku,
tangannya meraih tubuhku. Kian di hadapanku, sangat dekat. Wajahku hampir
menyentuh dadanya. Aku salah tingkah.
“Sudah, ini adalah bagian dari dramaku di
kampus. Anggap saja kamu adalah pasangan lawan mainku di pentas nanti.”
“Musiknya mana?”
“Rasakan saja dengan hati.” Kian menepuk
dadanya pelan.
Aku hanya mengangguk. Pipiku terasa panas,
mungkin juga karena sedikit merona akibat salah tingkah tadi. Senyumku
mengembang lagi, aku mendongakan kepala, melihat wajah tampannya yang teduh.
Kurasakan jemarinya menyentuh pinggangku, tangan satunya menggenggam tanganku.
Seperti bersatu, namun tanpa kejelasan status. Aku hanya menikmati momen ini. Perasaan
ini semakin memuncak. Aku ingin memeluknya. Tetapi kuurungkan niatku. Aku tidak
ingin merusak suasana ini dengan tindakan nekatku. Aku mengikuti langkahnya.
Berdansa layaknya seorang pangeran dan putri kerajan.
***
Malam demi malam berganti. Masih ku ingat raut
wajah teduhnya, lesung pipi yang menawan dan mata sendunya yang memikat. Setiap
kali memandangnya aku menjadi lemah tak berdaya. Apalagi suara merdunya,
membuatku selalu ingin bersamanya setiap waktu. Aroma tubuhnya semerbak seperti
wangi yang tak dapat kusamakan dengan aroma lainnya. Jika aku menghirup aroma
itu, aku pasti sudah tahu siapa pemiliknya. Di tempat kursus gitar inilah kami
pertama kali berkenalan.
Aku masih termenung menatap kawanan air yang
turun malam itu, membayangkan bagaimana waktu itu saat gosip hubungan istimewa
dengannya setiap hari menerpa dari mulut teman-teman kursus. Aku tidak
mengelaknya, aku ingin gosip itu menjadi sungguhan. Dia pun tidak menyangkal
atau mengomentarinya. Apa yang ada dipikirannya saat itu aku tidak tahu. Dia
hanya tersenyum simpul saat gosip itu datang menggerayangi telinganya.
Menimbulkan banyak tanya di dalam pikiranku dan membuat relung hatiku
bergejolak.
Semuanya sudah berubah. Entah bagaimana kabarnya
sekarang. Suara merdu itu selalu memenuhi ruangan ini selama kurang lebih satu
tahun, tetapi tiga bulan terakhir ini aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku
bertanya pada mentor gitarku mengenai Kian. Katanya dia hanya ingin berhenti
kursus karena ada urusan, itu saja. Jawaban yang tidak membantuku sama sekali
untuk menemukannya ataupun tahu dimana dia berada sekarang. Ponselnya pun tidak
aktif. Hanya penyesalan yang membekas dihatiku saat ini. Bersamanya di
sepanjang waktu kursus itu sudah cukup. Tetapi sekarang, ketika dia menghilang
entah kemana, aku ingin dia ada di sini, melihatku memainkan gitar, dan
melantunkan lagu kesukaannya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sudah mahir
memainkan gitarku. Aku ingin menunjukkannya padamu. Dan aku ingin mempersembahkan
lagu ini untukmu. Karena aku mencintaimu.
***
Tampaknya hujan semakin deras, belum ada
tanda-tanda kalau Ayah sudah sampai. Hari ini aku sedang malas menyetir
sendiri. Aku meminta Ayah untuk menjemput ke tempat kursus, dan Ayah pun tidak
keberatan. Mataku menatap gitar yang tadinya kuletakkan di sampingku. Aku
mengambilnya, menaruhnya di atas pangkuanku. Aku mulai menggerakkan jemariku,
memainkan kunci gitar yang sudah kuhafal di luar kepala. Sambil memetik senar
gitar, aku mencoba menyanyikan lagu yang pernah Kian nyanyikan. Firasat,
sepertinya lirik lagu ini memang cocok melukiskan perasaanku.
Di ruangan ini hanya ada aku seorang, murid
yang lainnya sudah pulang, atau sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku
sangat leluasa bernyanyi, soal suara bagus atau tidak, aku tidak peduli.
Kuresapi setiap bait lagu yang aku nyanyikan, seakan sosoknya ada di sampingku.
Tanpa kusadari butiran air mata yang membendung itu jatuh membasahi
pipiku. Rindu yang kusimpan rapat-rapat akhirnya meluap juga. Aku hentikan
nyanyianku, tanganku lemas, jemariku kaku, rasanya ingin meluapkan rasa yang
tidak dapat aku ungkapkan hingga saat ini.
Rasanya lebih sakit, sesak di dalam dada,
membuat aliran darah terasa beku karena tertahan oleh kebisuan. Aku mengatur
napasku, karena tangis ini hampir membuatku terisak. Aku harus kuat! Aku tidak
boleh cengeng! Jeritku dalam hati. Mungkin Kian bukan yang terbaik untukku,
Tuhan lebih tahu. Tetapi apakah aku salah? berdoa dan meminta kepada Tuhan
bahwa aku hanya ingin bertemu dengannya. Aku akan melupakannya, beri aku
kesempatan untuk mengungkapkannya sekali saja. Aku mencoba meredam emosiku,
memejamkan mataku sejenak. Berusaha menghadapi kenyataan.
“Nada.” Suara paruh baya itu membuyarkan
lamunanku.
“Ayah, sudah sampai.” Aku mencoba tidak
memperlihatkan kesedihanku pada Ayah, aku mengusap air mataku cepat-cepat, dan
menunjukkan raut wajah seceria mungkin.
“Kamu
kenapa?” tanya Ayah khawatir dan penasaran dengan anak bungsunya ini. “Kamu
habis menangis? Matamu merah dan sembab nak, ada apa? Cerita pada Ayah.” Lanjut
Ayah, yang sepertinya memang tahu kalau anak bungsunya ini memang sedang tidak
baik-baik saja.
“Tidak apa-apa Ayah, aku hanya mengantuk jadi
matanya berair, habis dari kampus pagi tadi kan aku disini.” Jawabku seadanya,
sambil berusaha menebar senyum semaksimal mungkin.
Ya, memang tempat kursus ini sudah seperti
rumah keduaku, selesai kuliah aku selalu menyempatkan diri kesini untuk
melancarkan permainan gitarku. Aku dapat sesuka hatiku kesini, kapan saja,
karena tempat kursus sederhana ini memang dibangun oleh kakakku, Gilang.
Sekarang dia meneruskan kuliahnya di Jerman, sambil menjalankan bisnis yang ia
dirikan sendiri juga di sana. Kak Gilang memang mandiri dan dewasa. Kak Gilang
lah yang menjadi salah satu inspirasiku untuk bisa bermain gitar. Kalau soal
Gitar, Kak Gilang juara. Murid-murid disini juga tidak ada yang tahu, kalau aku
adalah adik dari pemilik tempat kursus ini, termasuk Kian. Hanya para mentor di
sana yang sudah kuberitahu untuk merahasiakannya, aku tidak ingin mereka
menganggapku istimewa. Aku ingin disamakan seperti murid yang lainnya di kelas.
Hanya soal waktu saja yang diperuntukkan untukku memang lebih banyak dari yang
lainnya.
“Yasudah, yuk kita pulang, sudah malam.” Ujar
Ayah sambil mengusap kepalaku dengan lembut.
Aku bergegas merapikan gitar akustik kesayanganku
ke dalam tempatnya. Dan beranjak dari kursi untuk lekas pulang bersama Ayah.
Aku menuju tempat dimana Ayah memarkirkan mobilnya. Aku masuk ke dalam sedan
biru dongker. Walaupun umur mobilnya sudah cukup tua, namun masih nyaman untuk
berada di dalamnya. Ayah orang yang apik dalam merawat semua barang yang ia
punya. Termasuk mobil kesayangannya ini. Baru beberapa detik Ayah menjalankan
mobilnya, pandanganku tertuju pada seseorang yang aku lihat dari kaca spion
mobil di sisi kiriku. Menggunakan helm tertutup, dan mengendarai motor. Aku
membuka kaca mobil, menolehkan kepalaku keluar kaca mobil untuk melihat
seseorang itu dari kejauhan. Orang itu dengan cepat memutar arah, dan pergi. Di
sana sedikit remang, jadi aku tidak begitu jelas melihat. Namun aku rasa, itu
bukan siapa-siapa, akupun mengabaikannya.
“Ada apa nak?” Tanya ayah sambil menyetir.
Mungkin Ayah masih bingung dengan apa yang aku lihat. Aku menoleh ke arah Ayah,
aku meyakinkan pada Ayah bahwa tidak ada apa-apa, untuk kesekian kalinya aku
menggelengkan kepalaku. Padahal di dalam pikiranku sekarang berkeliaran tentang
seseorang yang baru saja mengalihkan pandangan.
***
Suasana kelas sepi. Hari ini memang tidak ada
jadwal kursus. Aku meminta izin untuk memakai ruangan seharian. Berdiam diri
saja di rumah rasanya suntuk. Ayah sedang ada pekerjaan di luar kota, Ibu pun
ikut menemani. Tawaran Ayah untuk ikut dengan mereka aku tolak. Aku hanya ingin
sendiri. Belajar untuk membuang rasa yang sudah lama terpendam. Dan mereka
sepertinya mengerti. Entah dari sisi apa mereka melihatnya. Aku membuka jendela.
Kucermati pohon-pohon menari riang disambut
angin sore yang berhembus entah dari arah mana. Rambut ikalku terurai. Kuhirup udara kota kembang yang sejuk
sore itu. Segar, masuk ke rongga pernapasanku. Membuat dadaku lebih lega.
Sesakku sedikit menghilang. Aku masih berharap akan ada waktu untuk sekedar
mengatakan bahwa selama ini aku menyukai, bahkan mencintai Kian. Jodoh manusia
tidak ada yang tahu. Namun apa jadinya jika Kian mendengar aku menyukainya
lebih dari sahabat? Tak dapat kubayangkan.
Mataku terpejam. Membayangkan wajahnya. Aku
menghela napas, berulang kali kuhirup udaranya, dan aku buang perlahan.
Tiba-tiba aroma itu tercium olehku, ciri khasnya. Aku masih berdiri menghadap
jendela, meyakinkan bahwa aku hanya berkhayal kalau dia ada di sini, saat ini,
di ruangan ini. Aroma itu ternyata tidak hilang, justru semakin menusuk
hidungku. Wangi yang kukenal dan selalu aku ingat. Aku berusaha meyakinkan
diriku.
Aku membalikkan badan ke belakang. Kemudian
aku mematung, air mataku terbendung di sudut kantung mataku yang sedikit
menghitam. Senyumnya mengembang di depan pintu. Menyapa dan memanggil namaku,
dia mulai berjalan mendekatiku. Rasa itu datang lagi. Namun kali ini bercampur
dengan rindu yang teramat sangat. Rindu yang tertahan setiap hari. Membuat sesak
di dalam dada, hingga mengubah nafsu makanku menjadi berkurang.
“Maaf aku tidak sempat memberi kabar,
ponselku hilang. Dan aku tidak mencatat nomormu. Aku sangat sibuk selama tiga
bulan ini. Kemarin malam aku kesini, tetapi tempat kursus sudah sepi. Kebetulan
kamu ada sekarang. Karena aku yakin kamu kesini walaupun hari ini kursus libur.”
Ujar Kian yang terus berusaha menjelaskan kepergiannya selama ini. Ternyata
benar, sosok yang kulihat kemarin malam mungkin adalah Kian. Aku hanya
tersenyum dan tidak membahasnya. Aku tidak memotong ucapannya. Aku ingin memandangnya
puas-puas. Dengan jarak seperti sekarang.
“Kamu apa kabar?” Tanyaku lembut. Singkat,
dan hanya itu yang aku ingin tahu. Walaupun aku sebenarnya heran dan juga
khawatir
“Aku baik sekali Nada.. aku juga yakin kalau
kau baik-baik saja. Oh iya aku ingin menunjukkan sesuatu padamu! Ini
Kejutan.” Aku tersenyum, walaupun sebenarnya tidak sedang baik-baik saja. Lalu,
apa aku akan terkejut seperti beberapa bulan yang lalu? Seperti saat dia
pura-pura bilang mencintaiku? Kemudian menghilang begitu saja tanpa kabar? Gumamku
dalam hati yang menjerit. Aku memaksakan tersenyum lagi. Dan mencoba ingin tahu
kejutan apa yang akan dia tunjukkan padaku. Aku rasa hari ini adalah yang tepat
untuk mengungkapkan perasaanku. Mungkin. Aku hanya ingin jujur. Itu saja.
Tangannya menelusup ke balik jaket kulitnya.
Kian menunjukkan raut wajah begitu bahagia. Sesuatu diambil dari balik jaket
itu. Sebuah surat, tampaknya seperti itu. Aku ragu, tangan kirinya menggapai
tanganku, surat itu diletakkan di atas telapak tanganku. aku melihatnya dengan
jelas. Bukan surat, tetapi sebuah undangan yang tampak minimalis, dengan dasar
krem berbalut pita berwarna coklat muda. Warna yang lembut. Tertera inisial
K&K. Aku tak perlu membukanya, itu pasti hanya akan membuatku banjir
airmata, aku tidak ingin. Dan perkiraanku pasti benar. Aku masih menahan
bendungan air di mataku.
“Maaf aku baru memberitahumu, kejutan
ini untuk kamu sebagai sahabat dan sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Kian
tersenyum lebar. Lalu melanjutkan ucapannya. “Namanya Kania, dia sangat baik,
cantik, dan aku selalu bercerita tentangmu padanya, kamu harus datang ya,
janji! Nanti akan aku kenalkan kamu dengan Kania. Dia pasti sangat senang.”
Mungkin inisial huruf K yang tertempel
selama ini di gitarnya juga adalah Kania. Untungnya pagi ini tidak turun hujan,
kalau iya, mungkin itu akan menjadi latar kesedihanku yang cocok sekali untuk
saat ini. Aku berusaha tenang, dan menatap mata laki-laki yang selama ini aku
kagumi, bahkan cintai, senyumnya mengembang menghiasi wajahnya. Aku tahu dia
sangat bahagia, dan membagikan kebahagiaannya padaku. Aku berusaha untuk ikut
bahagia, walaupun sangat sulit. Rasanya ingin cepat pergi dari hadapannya.
Ternyata selama ini kesibukannya adalah mempersiapkan pernikahan, dan mungkin
masih hingga saat ini. Hatiku terluka. Dadaku terasa sesak kembali, kali ini
lebih sesak sepuluh kali lipat. Aku menggigit bibir, menahan gumpalan air mata
yang masih membendung disudut mataku.
Tubuh tegapnya semakin mendekat. Tangannya
menyentuh bahuku, kemudian memelukku erat. Baginya ini mungkin pelukan
terimakasih kepadaku sebagai sahabat yang sudah setia menemaninya selama ini.
Mendengarkan perjalanan hidupnya dan memberinya banyak nasihat tentang cinta.
Tidak lebih. Pipiku menempel di dadanya. Hangat, aroma tubuhnya membuatku ingin
terus berada didekatnya. Tapi itu tidak mungkin. Perlahan tangis yang aku akui
tangis bahagia akhirnya keluar, air mata itu mengalir deras membasahi jaketnya.
Aku tidak peduli dia menyadarinya atau tidak. Sudah kuputuskan, ungkapan cinta
yang kusimpan selama ini untuknya akan kubuang jauh-jauh. Dalam diam, Ini
adalah pelukan pertama, dan terakhir selama kami menjadi sahabat. Cukup tanpa
pengakuan apapun. Tuhan mempertemukanku dengan Kian pasti ada maksud
tersendiri. Dari awal pertemuan manis kami, kuakhiri dengan satu kalimat yang
sanggup kucapkan padanya.
“Selamat ya, semoga kamu bahagia..”
-Selesai-
Copyright 2016
Stylist : Rhialita
Natural make up : Rhialita
Concept : Rhialita
Photo : Adam Fajari
0 komentar
Rhialitage